![Marwan-Mas3.jpg](http://makassar.tribunnews.com/foto/bank/images/Marwan-Mas3.jpg)
Anas diharapkan betul-betul memiliki “kata kunci” berbagai dugaan korupsi di negeri ini dan mau membukanya di depan hukum. Sebagai ketua umum, tentu lebih banyak tahu dibanding mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin soal pendanaan partai, terutama pada berbagai dugaan aliran dana Century yang mengalir dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden 2009.
Setelah Anas Urbaningrum ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait gratifikasi kasus Hambalang, tiba-tiba dengan nada halus Anas menebar ancaman saat pidato pengunduran dirinya dari Ketua Umum Partai Demokrat. Anas menyatakan, penetapan dirinya tersangka bukanlah akhir, melainkan permulaan dari babak baru di Demokrat. Ini baru halaman pertama, masih banyak halaman berikutnya yang akan kita buka dan baca bersama.
Siapa saja boleh menafsirkan kalimat Anas, bisa saja sebagai ancaman atau bahkan peringatan bahwa Anas bukan satu-satunya aktor dalam kasus Hambalang. Publik juga menafsirkan Anas akan membuka borok-borok korupsi yang diketahuinya, membuka semuanya mengenai aneka praktik miring yang merugikan keuangan negara.
Kotak pandora akan dibuka Anas yang dapat disimak dari kata “akan ada halaman berikut”. Dalam wawancara di RCTI (27/2/2013), Anas menyebut keterlibatan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dalam kasus Hambalang. Anas mengaku pernah ikut pertemuan petinggi Partai Demokrat, Amir Syamsuddin dan mantan Bendahara Umum Nazaruddin terkait kasus Hambalang. Menurut Anas, Amir Syamsuddin yang paling pas untuk menjelaskan soal keterlibatan Ibas.
Tetapi Anas tidak boleh hanya gertak sambal di balik tudingan ada gerakan senyap untuk menggiringnya ke kursi tersangka. Setidaknya bisa jadi pintu masuk bagi KPK untuk menuntaskan kasus Hambalang dan berbagai kasus lain. Sebagai Ketua Umum Partai Demokrat saat itu, Anas diyakini banyak mengetahui dugaan penyalahgunaan wewenang di partainya. Ini adalah risiko hidup partai politik di Indonesia, tuntutan dan gaya hidup untuk selalu survive butuh topangan dana besar meski selalu merecoki uang rakyat.
Bank Century
Boleh jadi halaman buku yang dijanjikan Anas akan berimbas pada sejumlah dugaan korupsi terkait lingkar Cikeas atau orang dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Salah satunya, kasus Bank Century yang merugikan negara Rp 6,7 triliun. Meski Anas belum menyentuh soal Century, tetapi beberapa anggota tim pengawas (Timwas) Century DPR berencana mengundang Anas untuk memberikan keterangan.
Selaku tokoh di Partai Demokrat saat itu, Anas disebut-sebut tahu banyak soal dugaan korupsi dan manipulasi data IT KPU dalam Pemilu 2009 yang melibatkan orang penting, tetapi pengusutannya tidak berkembang. Apakah ada bukti terbaru yang akan dibeberkan Anas? Sebab jika yang diketahuinya sama saja dengan yang berkembang selama ini, percuma Anas dipanggil Timwas Century.
Anas diharapkan betul-betul memiliki “kata kunci” berbagai dugaan korupsi di negeri ini dan mau membukanya di depan hukum. Sebagai ketua umum, tentu lebih banyak tahu dibanding mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin soal pendanaan partai, terutama pada berbagai dugaan aliran dana Century yang mengalir dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden 2009.
Hanya satu pilihan bagi Anas: dipermalukan dan dipenjara atas nama hukum dalam kasus Hambalang kemudian bersiap digantung di Monas sesuai sesumbarnya, atau segera mengisi halaman berikutnya tentang siapa tokoh lain yang terlibat. Sekiranya peran itu bisa dilakoni dengan baik, boleh jadi Anas akan sama posisinya dengan Nazaruddin, tidak terlalu dikecam publik karena “halaman berikutnya” bukan isapan jempol, tetapi bisa menjadi pintu terbongkarnya kebobrokan pejabat di negeri ini.
Sebaliknya, jika Anas hanya sekadar menggertak akan membongkar kasus korupsi yang sebenarnya tidak ada, maka bersiaplah tercatat dalam sejarah negeri ini sebagai “politisi sengkuni” seperti yang pernah ditulisnya dalam status BBM-nya. Malah hukuman Anas akan lebih berat, bukan hanya sanksi hukum tetapi juga sanksi sosial sebagai peneror dan penyebar fitnah.
Sikap Mendua
Fenomena yang dipertontonkan sebagian kalangan saat perang melawan korupsi masih ambivalen. Ada aktivis, elite kekuasaan, dan politikus yang acapkali sikapnya mendua saat keluarga, kerabat, dan sahabat mereka dijadikan tersangka oleh KPK. Mestinya korupsi menjadi urusan hukum tetapi karena digiring ke ranah politik, sehingga KPK dijadikan sasaran kecaman.
Lebih memiriskan lagi, KPK dituding terjebak dalam permainan politik dan tidak independen lagi. Kalau bukan kerabat atau sejawat politisi, mengecam KPK jika terlambat meningkatkan statusnya. Tudingan KPK diintervensi dan berkonspirasi dengan istana bisa dipastikan sarat dengan agenda tersembunyi. Tujuannya tentu agar agenda pemberantasan korupsi tidak mengarah pada kelompoknya.
Dokumen surat perintah penyidikan (sprindik) Anas yang bocor ke ruang publik bisa dijadikan indikasi terbelahnya sikap sebagian kalangan yang mengarah ke ranah politis. Sementara ada komisioner KPK yang diduga larut dalam genderang politik yang ditabuh dari luar. Saat ini KPK disibukkan membentuk Komite Etik untuk menyelidiki dugaan keterlibatan pimpinan KPK dalam bocornya dokumen sprindik.
Jika pun Komite Etik bekerja, sepenuhnya untuk kepentingan intern KPK, bukan atas agenda politik dari luar yang ingin agar lima pimpinan KPK tidak kompak. Pembocor sprindik wajar ditelusuri secara etika, tetapi jangan sampai dimanfaatkan oleh koruptor dan kroninya untuk memecah-belah kekompakan pimpinan KPK. Malah ada yang mendesak agar Polri turun tangan, dan terbukti salah satu loyalis Anas sudah melapor ke Mabes Polri. Publik sudah tahu apa kepentingan dan agenda politiknya.
Ada agenda senyap agar pimpinan yang membocorkan dipecat dari KPK dengan alasan membocorkan dokumen sprindik bukan wilayah etika, tetapi ranah hukum pidana. Padahal, dokumen sprindik yang bocor belum diberi nomor, belum ada tanggalnya sehingga belum tergolong dokumen resmi, meski asli milik KPK. Jadi belum ada kerugian materiil yang ditimbulkannya, apalagi pada akhirnya KPK menetapkan Anas tersangka sesuai isi dokumen sprindik. Saya masih percaya penetapan Anas tersangka bukan karena tekanan dan intervensi kekuasaan, hanya kebetulan saja bertepatan dengan kisruh di Partai Demokrat. Apalagi sudah lebih dua tahun kasus Hambalang ditangani KPK.
Jika agenda mendepak salah satu pimpinan KPK bersambut di Komite Etik, berarti serangan balik dengan “pola baru” bisa mengacaukan KPK. Padahal, banyak serangan balik para koruptor dan koroninya berhasil dilumpuhkan. Perlu membuka mata hati, bahwa kultur politik yang penuh intrik, fitnah, dan friksi harus steril di tubuh KPK.***
Oleh;
Marwan MasGuru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Anggota Forum Dosen Tribun, Makassar